Rabu, 05 Mei 2010

Enny Jadi Bos Para Fotografer Pria (Jawa Pos)

Enny Jadi Bos Para Fotografer Pria

Tak banyak wanita yang bekerja sebagai fotografer. Mereka ini adalah beberapa di antara yang tidak banyak itu. Bahkan, ada yang mendapat penghargaan internasional atas karyanya.

---

SEJAK 24 tahun lalu, Enny Nuraheni bergabung di kantor berita Reuters sebagai fotografer. Kini jabatannya sudah mentereng, yakni sebagai chief photographer Reutres Indonesia. Dialah yang menjadi komando puluhan fotografer laki-laki yang bernaung di kantor berita tersebut.

''Saya kini punya 15 staf fotografer tetap dan 40 sampai 50 stringer,'' kata Enny saat ditemui Jawa Pos di kediamannya pekan lalu.

Jika dibandingkan dengan kesibukannya saat sebagai staf fotografi, kesibukan Enny sebagai chief photographer kini lebih banyak diisi untuk mengedit foto para staf dan stringer yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. ''Tugas saya sekarang 75 persen lebih banyak editing," ujar wanita kelahiran Wonosobo, 27 Desember 1960, itu.

Basis fotografi Enny berasal dari ajaran Yuriah Tanzil, kakak kandungnya. Yuriah adalah pemilik Tanzil Foto, salah satu studio foto yang besar pada 1980-an. Motivasi Enny saat itu bukanlah ikut kakaknya menjadi fotografer dokumentasi. ''Saya ke Jakarta saat itu cuma pengin kuliah,'' ujarnya.

Pada 1983, Enny mulai kuliah. Dia mengambil diploma bahasa di Akademi Bahasa Asing Jakarta. Kampus Enny saat ini sudah tidak ada. Bangunannya sudah berganti gedung Bursa Efek Indonesia. Sempat bekerja sambil kuliah sebagai petugas administrasi di sebuah kantor, Enny berhenti membantu kakaknya di Tanzil Foto. ''Kakak saya waktu itu hamil tujuh bulan, padahal masih ada order foto,'' ujarnya.

Klien Tanzil Foto saat itu memang istimewa. Hampir seluruh kedutaan asing di Indonesia menjadi klien Tanzil. Biasanya Tanzil diminta untuk mendokumentasikan acara resmi ataupun nonformal seperti cocktail party. Kedutaan itu meminta Yuriah sendiri untuk mendokumentasikan acara mereka.

Tidak tega melihat kakaknya yang hamil tua bekerja, Enny menawari Yuriah agar dirinya bisa membantu. Suka cita, Yuriah menerima Enny untuk membantu di studio. Profesor Dodi Tisna Amijaya, rektor ITB saat itu, menerima bintang penghargaan dari Kedutaan Jerman. Itu adalah pengalaman pertama Enny memegang dan mengambil foto.

"Saya cuma di-setting-kan kecepatannya 60, diafragma 5,6, sama flash, sudah,'' jawabnya. Satu kamera SLR Nikon F2 dan satu flash pun menemani dia bekerja di Kedutaan Jerman. ''Nanti komposisinya gini ya, pas penyematan,'' kata Enny menirukan perintah kakaknya ketika itu.

Pengalaman pertama di studio Tanzil Foto ternyata sukses. Yuriah puas dengan karya Enny. Dia pun menawari Enny untuk membantunya sambil tetap menyelesaikan diploma di ABA. Di Tanzil Foto, Enny juga belajar dunia cuci cetak film. Selama tiga tahun di Tanzil, Enny melahap semua dasar-dasar teknik fotografi dan cetak. ''Hampir semua kedutaan sudah saya datangi, mulai yang kecil hingga yang seluas Kedutaan AS,'' terangnya.

Bekerja sebagai fotografer di Reuters pun sebenarnya bukan motivasi utamanya. Enny menyatakan, pada 1986 Reuters sudah dua tahun berdiri di Indonesia. Namun, baru saat itu Reuters membeli kantor foto milik UPI. Reuters kemudian membuka lowongan fotografer di Indonesia. ''Saya iseng saja ketika itu mendaftar,'' jawabnya.

Hanya bermodal iseng, Enny lantas mencoba untuk melamar sebagai fotografer di Reuters. Masih ingat di kepalanya, hari melamar saat itu adalah Minggu. Enny hanya membawa selembar surat lamaran, tanpa curriculum vitae apa pun. Enny juga tidak membuat janji kepada siapa pun di Reuters. Dasar beruntung, Enny ditemui oleh Jeremi Clift, kepala Reuters Jakarta saat itu.

''Saya bilang mau melamar, terus diberi dua rol film untuk memotret,'' kata Enny. Tugas itu pun langsung dia kerjakan. Setelah memfoto, tugasnya cuci cetak film. Kemampuan teknis Enny, tampaknya, menarik perhatian Reuters.

''Setelah Minggu tes, Senin saya sudah mulai bekerja,'' ujarnya. Enny bekerja sebagai stringer selama enam bulan, sebelum diterima sebagai staf tetap Reuters. Secara bertahap pula, Enny melepas pekerjaannya sebagai fotografer di Tanzil. ''Kakak saya sempat nggak rela karena harus mencari orang lagi,'' kenangnya.

Karir fotografi Enny Nuraheni terbilang komplet. Tugas fotografi dengan tema perkotaan, pemerintahan, olahraga, politik, hingga daerah konflik sudah dia lakukan. Di daerah konflik saja, mulai konflik Aceh, Papua, Ambon, Kerusuhan Mei 1998, hingga lepasnya Timor Timur (kini Timor Leste) dilakoni Enny.

Karya foto Enny Nuraheni terbilang berkualitas. Perempuan 49 tahun itu berkali-kali menyabet penghargaan foto terbaik Asia versi Reuters. Namun, di luar penghargaan itu, Enny tak sekali pun memenangi anugerah fotografi lokal yang pernah dia ikuti.

''Saya itu pernah ikut lomba foto di sini, tapi tidak pernah menang,'' ujar Enny, lantas tertawa. Semasa menjadi staf, beberapa kali ada perlombaan foto dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta di Indonesia dia ikut. Namun, dasar nasib, Enny beberapa kali itu pula gagal menjadi pemenang. ''Saya waktu itu sampai bingung, apa yang kurang ya,'' katanya.

Kebalikan dari itu, justru Enny kerap didaulat menjadi juri foto di tingkat internasional dan nasional. Salah satu even foto internasional yang dinilainya adalah World Environment Competition di Jepang. Jika untuk even nasional, hampir semua kontes foto di Indonesia meminta dia menjadi juri. (bay/jan/c4/kum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar